Minggu, 30 November 2008

Kebijakan Pemerintah Indonesia Untuk Menarik Minat Investasi Asing (FDI)

Gagasan mengenai investasi berawal dari sejarah perdagangan internasional yang muncul pasca perang dunia II sebagai produk dari persaingan ideologi liberal yang bersaing dengan merkantilisme.. Awal tahun 1970-an , sistem perdagangan leih banyak didominasi oleh gagasan liberal yang diajukan oleh Amerika. Kemudian pada periode pertengahan 1970an sampai awal 1980an, yaitu masa kritis Amerika, gagasan reformis dan neomerkantilisme muncul mendominasi arena ekkonomi politik internasional. Kemudian Pada pertengahan 1980an sampai awal 1994 dimana perdagangan dunia giat kembali ideologi liberal berhasil muncul kembali membendung kecenderungan merkantilisme.[1] Gagasan mengenai Liberalisasi ekonomi yang terbuka diperkenalkan oleh ahli ekonomi neoklasik David Ricardo dan adam smith dengan teori “keunggulan komparatif “. Dilaksankannya prinsip keunggulan komparatif memastikan sebuah negara pada akhirnya akan meraih efisiensi ekonomi dan kesejahteraan yang lebih besar lewat partisipasi perdagangan luar negeri, bukannya lewat proteksi perdagangan.[2] FDI merupakan salah satu bentuk investasi yang terjadi dizaman liberal ini.

Penanaman Modal Asing langsung (Foreign direct investment- FDI) merupakan salah satu faktor utama pendorong perekonomian negara. Selain manfaat yang langsung dapat dirasakan seperti pembukaan lapangan kerja baru, transfer teknologi, peningkatan ekspor dan pendapatan pemerintah, FDI juga memberikan sinyal positif di lingkungan usaha yang akan memicu investor untuk berinvestasi lebih besar. Indonesia memerlukan pendanaan dalam jumlah besar untuk menggerakkan roda perekonomian dalam negeri sehingga kesejahteraan penduduknya dapat meningkat. Baik sektor publik maupun swasta di Indonesia dituntut untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif sehingga dapat bersaing dengan negara lain dalam menarik dana dari luar negeri.

Dalam dekade terakhir ini Persoalan yang terjadi ialah investasi asing enggan menanamkan modalnya di Indonesia? sehingga diperlukan dibahas mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dalam mendatangkan investasi asing atau yang disebut FDI.

FDI enggan menanamkan modalnya di Indonesia disebabkan karena ketidakstabilan kondisi ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia sekarang ini sebagaimana rentetan kejadian yang terjadi seperti demonstrasi masyarakat yang tiada henti-hentinya dalam menanggapi setiap ketimpangan yang terjadi di Indonesia dan kadang menjurus ke arah anarkisme, rentetan pengeboman yang melanda Indonesia dari ingatan penulis bom Bali, bom hotel marriot, bom dimuka gedung kedutaan Amerika dan ketidakstabilan ekonomi dinegara kita.

Ada beberapa pilihan kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah kita pada saat ini yaitu: yang pertama, teori intervensionis berasal dari efisiensi Institusi, khususnya peran negara (state). Hakikat kebijakan ekonomi adalah intervensi negara secara cermat dan tersedianya mekanisme sehingga mendorong pertumbuhan dan investasi yang cepat. Dalam artian diperlukan kapabilitas negara melakukan intervensi secara efektif melalui instrumen kebijakan untuk mendukung pembagunan ekonomi.[3] Penanaman modal asing ataupun modal dalam negeri tidak dibiarkan lepas begitu saja tanpa adanya intervensi dari negara bersama dengan perusahaan dalam menentukan arah kebijakan dan pasar konsumen yang dituju. Contoh kasus pada korea selatan yang keuntungannya diperoleh oleh negara dan juga dinikmati oleh masyarakat dan FDI melalui pertumbuhan ekonomi yang cukup fantastis. Lemahnya peran FDI dan perusahaan-perusahaan multinasional diKorea Selatan banyak dipengaruhi oleh semangat nasionalisme dinegara tersebut. Bahkan hongkong yang hampir sama sekali menyandarkan diri pada pasar bebas pun, dalam kenyataanya negara tetap memegang posisi penting keuntungannya yang ditunjukan oleh pemerintah hongkong melalui belanja progresif pemerintah. Yang Kedua,[4] mensinergikan peran dari rakyat, industri atau perusahaan lokal, penanam modal asing dan negara. Dengan cara meberdayakan masyarakat dengan industri komoditi dibidang pertanian dan perkebunan dengan cara penyuluhan cara bertanam yang baik untuk memperoleh bibit unggul dibidang-bidang tersebut, kemudian negara menghargai masyrakat tadi dengan pemberian insentif ataupun upah terhadap pekerjaannnya, disamping negara dan perusahaan lokal mencari penanam modal asing untuk menanamkan modalnya terhadap hasil pertanian, perdagangan, dan perkebunan tadi dan juga melalui bantuan networking dari negara. Keuntungan hasil yang diperoleh akan terbagi tapi cenderung akan lebih menguntungkan negara dan masyarakat pada daerah tersebut. Namun diperlukan perbaikan iklim yang kondusif terhadap investasi asing dalam negara merupakan faktor yang sangat menopang.

Ketiga, penulis melihat keberhasilan ekonomi negara singapura dimana antara tahun 1960-1999, pertumbuhan riil mencapai 8%.[5] Ada tiga hal yang menentukan keberhasilan ekonomi negara singapura, yaitu:[6] pertama pengadopsian pendekatan ekonomi terbuka dengan mendorong FDI mendukung rejim perdagangan bebas, dan mempromosikan industri berorientasi ekspor. Kedua, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan perusahaan-perusahaan swasta dengan mempertahankan kebijakan ekonomi makro yang stabil, menjaga pemerintahan yang bersih dan jujur yang menyediakan jasa yang efisien dan mempertahankan transparansi, kerangka aturan yang probisnis, mempertahankan harmoni industri buruh melalui kerjasama anatar negara, gerakan buruh dan pemimpin-pemimpin industri. Ketiga, berinvestasi dengan gencar disektor infrastruktur publik dan pengembangan sumber daya manusia dan memastikan pencapaian standar kualitas yang tinggi di kedua bidang.

Dalam prakteknya sekarang ini dalam menarik FDI menanamkan modalnya kebijakan dilakukan sangat-sangat liberal dan memberikan semuanya kepada mekanisme pasar seperti:

1. Pemerintah Indonesia mengadakan Internasional Infrastructure Summit pada tanggal 17 Janauari 2005 dan Bumn Summit pada tanggal 25-26 Januari 2005. Infrastructure summit menghasilkan keputusan eksplisit bahwa seluruh proyek infrastuktur dibuka bagi investor asing untuk mendapatkan keuntungan, tanpa perkecualian. Pemerintah juga menyatakan dengan jelas bahwa tidak akan ada perbedaan perlakuan terhadap bisnis Indonesia ataupun bisnis asing yang beroperasi di Indonesia. Penjelasan lebih lanjut BUMN akan dijual pada sektor privat.[7],

2. Pemerintah mengeluarkan undang-undang nomor 25 tahun 2007 tentang penanaman modal yang antara lain memuat mengenai: Jangka waktu yang lebih lama pada hak guna tanah: dalam Undang-Undang yang baru, maksimum hak guna untuk pengolahan tanah, hak guna bangunan dan penggunaan tanah diperpanjang, dari 35, 30 dan 25 menjadi 95, 80, dan 75 tahun, Ketentuan perlakuan secara nasional: Undang-Undang tersebut memberikan dasar yang merata untuk perlakuan yang sama antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing, [8]

Melihat kebijakan yang dilakukan oleh negara kita konsepnya menyerahkan semua kepada mekanisme pasar seperti konsep yang diterapkan oleh negara Singapura. Namun hasilnya yaitu negara kita tidak dapat menarik banyak investasi asing ke negara kita.

Indonesia hanya berada pada posisi 135 sebagai negara yang menjadi tujuan investor dunia dari 175 negara yang disurvei,”[9].

Hal itu disebabkan karena ketidak tegasan pemerintah dalam menentukan arah investasi perdagangan di Indonesia seperti sekarang ini. Sistem yang sangat liberal ternyata tidak juga mendatangkan investasi asing yang besar. Kebijakan penanaman modal asing yang sangat liberal ini cenderung menyerahkan semua kepada pasar sehingga apabila terjadi persaingan akibat dari globalisasi misalnya perusahaan modal asing yang telah mengadakan kontrak kerjasama dengan pihak Indonesia mendapat saingan yang kuat dari perusahaan lain untuk mencapai penjualan terhadap konsumen dipasar global tentu akan membutuhkan bantuan dari pemerintah dalam menjalin networking dengan konsumen dinegara lain jadi tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa koridor yang jelas.singkatnya sistem investasi dan perdagangan indonesia yang sangat liberal tidak bisa menjamin penanaman modal asing di indonesia akan merasa aman menanamkan modalnya. Selain itu berdasarkan data mengenai perlidungan bisnis di Indonesia yang dikeluarkan dari World Economic Forum (2007) yang berpusat di Geneva (Swiss) untuk The Global Competitiveness Report 2007-2008 menunjukkan bahwa dari 131 negara yang masuk dalam sampel penelitiannya, Indonesia berada pada peringkat ke 93 untuk pertanyaan apakah pengusaha (responden) bisa mengandalkan pelayanan dari polisi untuk melindungi usahanya dari kriminalitas (Tabel 1).[10] Mungkin ketidakstabilan politik di suatu negara tidak terlalu masalah bagi pengusaha tentu (selama tidak sampai menimbulkan perang saudara), tetapi gangguan kriminalitas dan hukum yang tidak pasti yang melindungi hak-hak dari pelaku bisnis dalam berbagai transaksi termasuk jual beli tanah dan sengketa bisnis tentu sangat mengganggu atau menakutkan seorang calon investor untuk menanam modalnya di negara tersebut.

Table 1 Peringkat Indonesia mengenai Perlindungan Bisnis oleh Polisi versi WEF 2007

Peringkat

Negara

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

93

131

Finlandia

Denmark

Jerman

Singapura

Swiss

Islandia

Hong Kong SAR

Norwegia

Austria

Emirat Arab Serikat

Indonesia

Venezuela

Disamping itu pula dampak dari sistem yang hiper-liberalis sangat rentan terhadap pelarian modal asing keluar negeri diakibatkan tidak jelasnya peranan pemerintah dalam memanfaatkan aset bangsa. Kondisi dari sistem yang hiper-liberalis tadi menyebabkan keuntungan besar akan diperoleh oleh penanam modal asing.

Fakta menunjukkan, di negara-negara lain yang tidak seliberal Indonesia, seperti vietnam, India dan Cina mampu menarik investasi ketimbang Indonesia yang memiliki UU Super Liberal. Sudah menjadi hakikat kapital bahwa ia tidak mengenal sistim atau metode kenegaraan apa yang dipentaskan. Kondisi yang kondusif serta peraturan yang jelas akan penanaman modal asing dan peranan negara dalam menjalin networking bagi PMA merupakan hal-hal yang seharusnya diperhatikan dalam pembuatan kebijakan.



[1] Mohtar Mas’oed, Liberalisme dalam Ekonomi Politik Internasional, Pada Topik :Perdagangan dalam perspektif Ekonomi Politik internasional. (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana FISIPOL HI UGM, 2007), hal. 25.

[2] Robert Gilpin dan Millis Jean Gilpin, Tantangan kapitalisme Global, Dikutip dalam Budi Winarno, Globalisasi Wujud Imperialisme baru, Peran negara dalam pembagunan, (Yogyakarta: Tajidu Press, 2005)., hal. 85.

[3] Stephan Haggard, Politik industrialisasi di Korea selatan dan Taiwan, dalam Budi winarno, Ibid., hal. 165.

[4] Penulis mencoba mensinergikan peran pemerintah, FDI, Industri Lokal dan masyarakat sekitar, berdasarkan pengetahuan penulis melalui pembelajaran Global Value Chain.

[5] Budi winarno, Op.cit., hal. 200.

[6] Yuniarti, Peran Negara dalam Industrialisasi di Malaysia dan Singapura 1970-2000, tesis S2 (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana FISIPOL HI UGM, 2007), hal. 130.

[7] Mohtar Mas’oed, Memahami Investasi Langsung Luar Negeri, Handout kuliah Investasi dan Perdagangan, (Yogyakarta: Program Pasca Sarjana FISIPOL HI UGM, 2007).

[8] Penulis mengutip beberapa point dari Dionisius Nardjoko, Undang-undang penanaman Modal baru, sumber: http://www fe.ui.ac.id/~patunru/globalisasi.PDF., hal 3.

[9] Nasril bahar, Pemda Harus Benahi Iklim Investasi Daerah. Sumber: http://www.nasrilbahar.wordpress.com/page/2/-63k

[10] Tulus Tambunan, Daya Saing Indonesia Dalam Menarik Investasi Asing, (dipaparkan pada seminar Bank Indonesia, 2007) sumber: http://www.kadin-indonesia.or.id/enm/images/dokumen/KADIN-98-2495-06022008.pdf., hal. 13.

Tidak ada komentar: